Pernahkah Kau Jatuh Cinta?
“Pernahkah Kau Jatuh Cinta?”
Sepeda :** Kendaraan beroda dua yang digerakkan kaki untuk menjalankannya. **
Tidak semua orang menyukai bersepeda, bahkan ada
yang tidak bisa bersepeda. Mereka lebih memilih pergi menggunakan motor ataupun
mobil. Alasannya karena tidak mungkin pergi menggunakan sepeda di zaman sekarang
ini, tidak adanya waktu juga membuat mereka malas untuk bersepeda. Setidaknya
itulah yang ku dengar dari temanku.
Jujur aku termasuk orang yang tidak setuju akan hal
itu. Tidak adanya waktu bukanlah alasan yang bisa digunakan untuk tidak bersepeda.
Buktinya aku bisa bersepeda sebelum pergi ke tempat kerja tanpa harus telat.
Bukankah itu tergantung dari bagaimana kita menggunakan waktu? Dan untuk alasan
tidak mungkin pergi menggunakan sepeda di zaman sekarang ini mungkin itu bisa
sedikit diterima.
Aku Hani, bekerja di toko musik milik ayahku. Jam
kerjaku menyesuaikan waktu yang kumiliki, enak bukan? Ya, memang. Karena selain
“Bos”nya adalah ayahku, aku juga harus menyelesaikan jam kuliahku. Aku kuliah
setiap hari kecuali di Sabtu-Minggu. Biasanya setelah pulang kuliah aku
langsung ke toko dan membantu ayah untuk berjualan.
Kali ini jam kuliahku kosong, aku memutuskan untuk
membantu ayah lebih pagi dari biasanya. Pergi menggunakan sepeda ketempat kerja
bisa membuatku lebih bersemangat. Entah kenapa tapi itulah yang terjadi.
Aku menaruh sepeda disamping toko, mulai membuka
toko dan merapikan isinya. Hari ini kemungkinan ayah akan datang sore karena
ada hal yang harus diurus bersama temannya mengenai kerjasama untuk membuka
beberapa cabang toko musik.
Selain aku, ada juga Stella sepupu ayah yang
membantu di toko ini. ia dua tahun lebih tua dariku. Stella mempunyai wawasan
yang luas tentang musik, selain ia pecinta musik, Stella juga kuliah mengambil jurusan
musik.
“Sudah lama?” Tanya Stella yang baru datang.
“Tidak, baru
beberapa menit” kataku.
Setelah menaruh tas, beberapa lagu dipilihnya untuk
diputar.
“Bila aku jatuh cinta… aku mendengar nyanyian seribu
dewa dewi cinta….”
“Melewati
dinginnya mimpi…..” aku dan Stella bernyanyi mengikuti lantunan musik. Kita sering
seperti ini saat ada lagu yang kita suka terputar di playlist.
Aku suka lagu
nidji ini, liriknya dalam dan bisa membuatku mengerti bagaimana bila seseorang
sedang jatuh cinta.
Satu pertanyaan
yang kadang terbesit di benakku “Apa aku pernah jatuh cinta?”
Aku pernah
bertanya kepada Stella tentang bagaimana rasanya jatuh cinta, Stella hanya
menjawab dengan tawaan lalu berkata “kamu belum saatnya mengenal cinta”.
Itu yang ku
benci setiap kali aku bertanya tentang cinta pada Stella.
Apa yang salah? Bukankah
cinta itu bisa hadir pada siapa saja dan umur berapa saja? Buktinya saat ini
banyak anak-anak yang belum cukup umur sudah mengenal cinta. Lalu aku? Bukankah
aku lebih tua dari mereka yang seharusnya lebih belum saatnya mengenal kata
cinta?
“Kamu harus
jatuh cinta dulu untuk mengenal cinta, Han”. Seruan Stella membuyarkan
lamunanku, seakan mengerti apa yang sedang ku pikirkan.
Aku hanya
menatapnya bingung.
“Kamu pasti
sedang memikirkan cinta kan, itu yang setiap kali kamu pikirkan ketika lagu ini
diputar. Biasa nya kamu bertanya, kenapa sekarang tidak?” Tanya Stella.
Karena jujur aku
terlalu lelah untuk bertanya dan bosan mendapat jawaban yang sama dari pertanyaan
yang ku ajukan tentang cinta, Stell.
Ingin sekali aku
menjawabnya seperti itu tapi mulutku malah mengeluarkan penggalan-penggalan
lirik lagu dari nidji yang belum habis ini.
Kriing…
Bunyi bell pintu
yang menandakan ada seseorang masuk ke dalam toko.
“Ah lelaki itu”
gumamku.
Lelaki yang
selalu memakai headphone, jaket dan tas slempang.
Masuk dan selalu
memilih barisan cd aliran rock. Selalu
Cd Coldplay yang dibelinya, Selalu.
Entah sudah berapa CD yang dibelinya, tapi yang ku tahu sudah lebih dari 5 yang
ia beli dari toko ku.
Lagu Coldplay
yang berjudul Yellow terputar di playlist
saat aku sedang merapihkan rak CD.
“I drew a line
I drew a line for you
How what a thing to do
And it was all yellow”
Aku bernyanyi
beberapa penggalan lirik dari Yellow.
“Suka Coldplay juga?” terdengar suara yang
membuatku berhenti bernyanyi.
“Ah tidak, hanya
hafal liriknya karena sering diputar di playlist”
kataku.
“Kau suka Coldplay?” tambahku.
Pertanyaan
bodoh. Tentu saja ia suka Coldplay, bagaimana
mungkin jika ia tidak suka Coldplay
membeli albumnya sampai 5. Umpatku.
“Suka” jawabnya
singkat.
“Kau bekerja
disini?” tanyanya.
“iya” jawabku.
“Aku ingin
membayar ini” katanya sambil menyerahkan satu album Coldplay yang setahuku pernah ia beli.
***
Pukul 19.00
Menunjukkan
bahwa toko harus tutup.
Aku, Stella dan
ayah menutup toko dan makan bersama sebelum kami pulang.
Ayah datang
pukul 5 sore tadi.
“Pertanyaan
bodoh, bodoh, bodoh!!!” kataku sambil menepuk-nepuk kepala.
“Bagaimana jika
pertanyaan dia yang aku bekerja ditoko sebagai pertanyaan ledekan? Pertanyaan
yang harusnya membuatku sadar sekaligus menjawab pertanyaan yang ku ajukan
padanya”
“Kau bodoh,
Han!” kataku lalu menutup wajah dengan bantal.
Nuut…nuut…
Alarm pukul
05.00 ku berbunyi.
…Menandakan aku
harus segera bergegas untuk bangun dan melakukan aktifitas harian yang ku suka
yaitu bersepeda.
Hampir setengah
jam aku mengelilingi taman komplek, beberapa menit untuk beristirahat
sepertinya perlu. Pikirku
“Suka sepedaan
juga?” Tanya seseorang.
“Suka banget”
jawabku.
Aku menoleh ke
kanan dan mendapati seorang lelaki dengan headphone dilehernya sedang duduk.
Dia mengenaliku,
dia hapal wajahku dan mungkin saja dia ingat bahwa aku si pekerja dari toko
musik langganannya.
“Sering sepedaan
disini?” tanyanya lagi.
“hampir setiap
pagi sebelum berangkat kuliah” jawabku.
“Suka sepedaan
atau kebetulan lagi pengen sepedaan aja?” Tanya ku berhati-hati agar tak malu
seperti kemarin.
“Hanya kadang
saja kalau tidak ada kerjaan di pagi hari”. Jawabnya
Kemudian obrolan
kami berlanjut hingga tidak ada titik yang dapat mengakhiri obrolan ini.
Tapi kemudian ku
lihat jam yang ada di tanganku, 07.20.
Aku harus segera
mengakhiri obrolan ini.
Dan ku harap,
ini bukanlah sebuah titik intonasi akhir dari obrolan kami, hanya sebuah koma
yang masih bisa berlanjut hingga titik itu ditemukan.
Tak ku sangka,
pembicaraan itu membuat kami jadi lebih akrab dan sering bersepeda bersama. Di
tambah kami satu kampus dan mengambil jurusan yang sama yaitu bisnis. Lengkap
sudah alasan kami untuk saling bertemu.
Hari ini aku
menjaga toko sendiri, Stella izin karena sakit dan ayah pergi melakukan survei
ke tempat yang akan menjadi cabang toko nantinya.
--Rendi,
Lelaki yang
memakai Headphone dan suka Coldplay itu namanya Rendi.
Dia berjanji
hari ini akan menemaniku menjaga toko. Aku merapihkan rak CD sambil sesekali
melihat ke kaca. Akankah dia datang? Itu pikirku.
Bagaimana jika
dia tidak datang? Ah masa bodo dengan itu, akan aku maki dia nanti jika tidak
menepati janjinya.
Kriing…
Bunyi loneng
toko berbunyi, aku segera kedepan untuk melihat apakah dia yang datang.
Ternyata bukan.
Satu dua orang
yang masuk ke dalam toko bukan juga dia. Aku hampir menyerah dan pasrah, jika
memang dia tidak datang biarkan saja, mungkin dia sibuk.
“Butuh bantuan?”
suara yang taka sing lagi ku dengar. Aku kenal betul siapa pemilik suara ini.
senyum langsung tersirat di bibirku.
Sudah beberapa
minggu ini aku selalu bersama Rendi, ada sesuatu yang tidak ku ketahui muncul
di hati. Rasa nyaman dan senang saat berada didekatnya.
**
Hari ini ku
putuskan untuk bertanya pada Stella tentang yang sedang ku rasakan.
Saat toko sepi
dan hanya tinggal kami berdua, aku bertanya pada Stella.
“Stell gimana
rasanya jatuh cinta? Apa yang membuat seseorang jatuh cinta?”
“Tapi Stell, aku
tidak mau jawabanmu itu sama seperti yang kemarin”
“hari ini harus
serius” kataku.
“kenapa? Apa
kamu sedang jatuh cinta, Han?”
“sejak kapan?
Sama siapa?” Tanya Stella.
“Stella, please.
Aku bertanya dan kamu jawab. Nanti akan aku jelaskan”. Kataku
“Oke, jadi
perkara jatuh cinta yaa.. kamu tahu Han, setiap orang punya alasan dan definisi
tersendiri tentang cinta, terkadang kita hanya bisa merasakan cinta tanpa tahu
apa itu cinta. Menurutku, cinta itu abstrak. Aku juga tidak tahu betul tentang
cinta. Tapi yang jelas saat kamu jatuh cinta dengan seseorang, tidak ada alasan
untuk mencintainya. Hanya kamu jatuh cinta dengan dia titik”.
“Kita tidak tahu
betul kapan cinta itu datang dan kapan cinta itu akan berhenti, Han. Kita tidak
bisa mengatur hati. Tidak bisa menahan-nahan untuk tidak jatuh cinta. Seperti
air, cinta juga mengalir. Mengalir dengan sendirinya. Itu perkara cinta jika
kamu Tanya menurutku”. Tambah Stella
Aku berpikir,
apa yang di katakan Stella apakah sedang terjadi padaku? Apa aku jatuh cinta
pada Rendi?
“Saat kamu Tanya
berulang kali tentang cinta padaku waktu itu, Han.
Kenapa aku
selalu jawab kamu tidak bisa mengerti cinta jika belum jatuh cinta? Karena di
jelasin sejelas-jelasnya, jika kamu belum merasakan bagaimana cinta, kamu tidak
akan mengerti. Karena cinta butuh pemahaman sendiri untuk bisa dimengerti.
Kenapa? Karena kadang cinta tidak masuk di akal. Kalau kata Agnes Mo tidak ada
logika”.
Aku mencoba
mencerna perkataan Stella.
Kriing..
Bel toko
berbunyi.
Stella menepuk
bahuku, menandakan siapa yang datang ke toko.
Aku menoleh dan
melihat pemandangan yang selama ini tidak ingin ku pandang.
Aku melihat
Rendi dengan seorang wanita, ia tersenyum kepadaku. Mereka memasuki jajaran
musik rock milik Coldplay seperti
yang biasa Rendi lakukan. Aku melihat mereka bercengkrama dan tertawa bersama.
Tuhan..
Baru saja aku
menanyakan perihal tentang cinta.
“Satu lagi yang
harus kamu tahu tentang cinta, bahwa ada rasa sakit yang menyesakkan, Han. Itu
pelengkap cinta”. Bisik Stella.
Rasa sakit yang menyesakkan inikah? Rasanya
seperti tidak bisa bernafas.
Stella melihat
ke arahku, seperti tahu bahwa karena siapa aku bertanya perihal cinta.
Ia menyuruhku
mengambil kemoceng di belakang, sengaja agar aku bisa menenangkan sejenak
pikiranku dan mengontrol hatiku.
Tidak apa kah
jika aku meneteskan satu tetes saja air mata karena cinta?
--Selesai--
Komentar
Posting Komentar